Semakin tua rupanya teman memberikan peranan penting dalam kesehatan dan kesejahteraan kita. Hal ini diungkapkan oleh William Chopik, asisten professor bidang psikologi di Michigan Uninversity, lewat dua pasang riset yang melibatkan hampir 280.000 orang. Dikutip dari laman Michigan State University (24/7/2020), Chopik mengatakan bahwa persahabatan menjadi lebih penting seiring dengan bertambahnya usia. Memiliki beberapa sahabat baik dapat membuat perbedaan bagi kesehatan dan kesejahteraan kita. Bisa dikatakan investasi dalam persahabatan merupakan tindakan cemerlang yang bisa membuat kita bahagia.
Namun, menjaga persahabatan memang bukan hal mudah. Ada banyak faktor yang membuat banyak persahabatan merenggang atau bahkan bubar jalan ketika usia bertambah. Lalu bagaimana caranya agar persahabatan tetap awet sampai tua? Apakah keterbukaan, kejujuran, dan saling percaya adalah modalnya?
Oh, tentu saja. Tanpa tiga bumbu kunci itu rasanya sulit melanggengkan persahabatan. Tetapi, ada hal lainnya yang tidak kalah penting. Berikut ini tiga cara menjaga persahabatan hingga tua yang dirangkum dari dari berbagai obrolan sederhana:
- Timbal balik
A friend in need is a friend indeed. Petikan kalimat itu acap kita lihat dan baca di mana-mana. Tanpa disadari, kalimat itu meresap dan kita pun hapal dengan sendirinya.
Lalu apa sih arti kutipan terkenal itu? Secara gamblang “A friend in need is a friend indeed” berarti seseorang yang menolong temannya sewaktu dia membutuhkan bantuan adalah sahabat sejati. Dan itu benar sekali.
Namun sayangnya banyak yang lupa bahwa sahabat sejati pun manusia biasa. Apa rasanya ketika seorang teman hanya didatangi saat butuh bantuan? Tentu saja tidak menyenangkan. Sebagaimana yang teman katakan saat kami berbincang di ujung sore yang tenang.
“Seingatku belum pernah menemuiku karena benar-benar ingin bertemu, lalu ngobrol tentang hal remeh-temeh yang seru. Pasti kalau ada butuhnya aja. Aku jadi malas karenanya,” katanya.
Ah, ya. Saya bisa memahaminya. Mungkin sekali atau dua kali seorang teman bisa mengerti. Namun, jika dilakukan berulang kali, secara tidak langsung kita menempatkannya sebagai “kanca tambel butuh”. Artinya hanya didatangi sewaktu dibutuhkan. Itu saja fungsinya. Lain tidak. Kondisi semacam ini menimbulkan perasaan dimanfaatkan. Bila di kemudian hari ia menghindar sewaktu kita sambat, ya jangan heran.
Lalu bagaimana baiknya?
Sederhana. Berikan kawanmu perhatian juga. Tanyakan kabarnya, anak-anaknya, pekerjaannya, atau hal-hal remeh selayaknya seorang kawan pada sahabatnya. Jangan menghilang begitu saja setelah memperoleh dukungan baik berupa moral atau material. Kalau kata Simbah, hubungan pertemanan yang baik itu harusnya timbal balik. Nah, begini baru adil.
Kenapa harus demikian?
Karena teman bukan cuma seseorang yang didatangi di kala kesulitan menghadang, lalu dilupakan ketika hari-hari dipenuhi kebahagiaan. Teman itu ada saat susah dan senang. Iya ‘kan?
- Tahu kapan waktu yang tepat
Keterbukaan memang jadi kunci langgengnya sebuah persahabatan. Akan tetapi, tidak semua hal harus dibuka lebar-lebar. Ada privasi yang tak boleh kita masuki, meskipun kita kawan dekat.
Seorang teman juga harus tahu kapan waktu untuk diam dan cukup menjadi pendengar. Lalu menepuk bahunya sebagai bentuk dukungan. Tidak perlu ikut campur atau memberi masukan jika memang tidak diperlukan. Jika harus memberi masukan, berilah pula jalan keluar. Jangan hanya mengkritisi, tetapi tidak ada solusi.
Menjadi sahabat juga berarti mengerti kapan harus melepaskan kawannya pergi dan menempuhi takdirnya sendiri. Tidak perlu menghalangi meskipun jauh dalam hati kita merasa tidak setuju atas pilihannya. Mengenai pasangan misalnya, seperti yang dikucapkan seorang teman terkait pasangan hidup yang dipilih karibnya.
“Kita boleh berpendapat, tapi tak berhak mengatur. Itu hidupnya. Dia yang menjalani. Jangan jadi kompor karena unsur subyektifitas semata. Seandainya kelak pilihannya terbukti salah, nggak perlu diolok-olok juga. Mungkin itu cara Allah untuk menaikkan derajatnya. Sekaligus mengajarkan kita bagaimana menjadi sahabat seharusnya, yang tetap mendukung di kala kawannya mengalami keterpurukan. Who knows?” katanya.
Saya menyetujui ucapannya sembari memikirkan apa yang diungkapkan Octavia E. Butler. Ia menuliskan bahwa,
”Sometimes being a friend means mastering the art of timing. There is a time for silence. A time to let go and allow people to hurl themselves into their own destiny. And a time to prepare to pick up the pieces when it’s all over.”
Octavia memang benar, menjadi teman berarti menguasai seni mengatur waktu. Namun, bagian yang terakhir, perkara memunguti remahan ketika semuanya berakhir, semoga saja tak perlu kita lakukan.
- Pengertian
Namanya berteman, ada saja hal yang jadi biang salah paham. Membuat persahabatan pun merenggang dengan sendirinya. Pesan yang lama atau bahkan tak berbalas serta sulitnya meluangkan waktu untuk kumpul bersama, terkadang jadi salah satu alasan.
Tidak mengherankan jika kemudian Anda mendengar seseorang mengatakan ,”Sekarang dia beda. Nggak kayak dulu. Kalau dikontak via WA jawabnya lama. Kadang cuma di-read aja. Huh!”
Sementara lainnya berkata ,”Ck, susah banget ngajakin dia kumpul-kumpul sekarang. Nggak usah diajaklah, pasti jawabannya nggak bisa! Malesin kan?”
Kalimat-kalimat itu mengingatkan saya pada suatu masa. Saya pernah memiliki pemikiran yang sama melihat perubahan sikap kawan setelah berubah tangga. Namun, seiring waktu pemikiran itu pun berubah.
Semakin kemari saya semakin memahami bahwa seiring bertambahnya usia, situasi tak lagi sama, prioritas hidup seseorang pun berbeda. Jika dulu mudah saja hang out bareng teman, setelah berkeluarga tentu tidak bisa sembarangan. Dalam skala prioritasnya, kawan bisa jadi nomor sekian setelah keluarga, pekerjaan, dan tetek bengek lain yang panjangnya mungkin melebihi contekan saat SMA. Bukan bermaksud abai atau lupa, hanya saja banyak hal yang lebih utama.
Seperti diungkapkan seorang kawan pada saya. Saya lupa detilnya, tetapi kurang lebih begini bunyinya ,”Bukan nggak mau balas, tapi urusan rumah itu kan nggak ada habisnya. Mulai dari nyapu, nyuci, masak, hingga ngurus anak. Sesekali aku memang masih bisa buka media sosial atau WA. Tapi, seringnya sih nggak sempat karena sibuk ngurusin rumah, suami, dan anak-anak.”
Kawan yang lain berkata ,”Gimana ya? Tapi, memang susah cari waktu buat ketemu sama teman-teman. Pulang kerja sudah malam, badan sudah lelah. Pinginnya istirahat aja. Kalaupun pulang ke sini (ke kampung), ya sama saja. Susah cari timing yang pas. Aku biasanya pulang kampung hari Sabtu, balik ke tempat kerja hari Minggu. Selama itu aku lebih banyak nemenin Mama. Cuma dia satu-satunya yang kupunya setelah papa meninggal dunia.”
Mendengar alasan semacam itu mungkin saja ada yang akan mengatakan “Ah, sesibuk apapun aku tetap bisa balas pesan atau kumpul bareng teman. Paling-paling mereka itu alasan saja!”. Masalahnya kondisi masing-masing orang jelas tidak sama. Mengatakan demikian sama saja dengan menyuruh orang memakai sepatu kita, padahal ukurannya berbeda. Jelas tidak nyaman rasanya.
Maka untuk hal-hal begini yang dibutuhkan adalah pengertian dan hati yang ringan. Tempatkan diri pada posisinya, sehingga tidak gampang kesal ketika pesan atau ajakan hang out tak berbalas. Sesekali jengkel itu wajar. Namanya juga manusia. Mana ada yang tak pernah merasakannya?
Jika punya waktu kunjungi rumahnya. Tentu atas seizinnya, dengan demikian ia bisa bersiap jika kita hendak datang ke sana. Jangan datang tiba-tiba, meskipun hal itu biasa kita lakukan semasa muda. Selain tidak sopan, bisa jadi kedatangan kita justru mengganggunya. Siapa tahu ada yang sakit di rumahnya atau justru ada janji yang tak bisa ditunda.
Nah, demikian tadi tiga cara menjaga persahabatan hingga tua. Ketiga hal itu tak bisa dilakoni serta-merta, butuh waktu yang panjang untuk melatihnya. Jika membuat kue saja perlu percobaan berulang, demikian pula saat kita menerapkan ketiganya.
Salam.
Sumber gambar: Mentatdgt dari Pexels
- Kegilaan Rania - 20/08/2020
- 3 Cara Menjaga Persahabatan Hingga Tua - 25/07/2020