Tanggal 27 Juli, usai pemakaman. Semua menganggap Rania gila karena meniadakan tahlil bagi Bapaknya, Sulkan. Sahudi, si nomer dua, mencak-mencak. Dengan suara menggelegar ia mengatakan jika keponakannya tersebut telah sesat. Jika tidak, tak mungkin ia mengambil keputusan semacam itu. Srini, si nomer tiga, tak kalah galak. Dengan mata nyalang ia menuding Rania tak tahu adat.
“Aku tidak mengerti jalan pikiranmu. Mengapa kau tega meniadakan tahlil bagi Bapakmu?” Srini menaikkan sudut mulut kirinya, sementara matanya menyala cela.
Rania tak bersuara. Bahkan ketika Srini mengatainya sebagai anak durhaka, tak tahu cara membalas kebaikan orang tua. Baru setelah perempuan berusia 51 tahun itu diam, Rania berujar ,”Bukan demikian maksudku, Bulik. Tahlilan tetap diadakan, tetapi hanya dilakukan oleh keluarga dekat saja. Tidak perlu mengundang banyak orang ….”
“Mengapa? Kau dan kakak-kakakmu enggan mengeluarkan uang? Takut harta kalian berkurang karena membiayai tahlilan?” Srini berkacak pinggang.
Rania baru membuka mulutnya, sewaktu Srini nyerocos ,”Kau ini pegawai bank. Gajimu besar. Dua kakakmu juga bekerja di perusahaan terpandang. Masa iya keluar sedikit saja eman? Percuma Bapakmu menyekolahkan sampai perguruan tinggi kalau hasilnya cuma begini!”
Rania menggelengkan kepala. Dengan nada suara dan kalimat tertawa perempuan 33 tahun itu berkata ,”Corona sedang merajalela, Bulik. Bulik kan tahu, kita dianjurkan menjaga jarak. Bahkan diminta mencegah atau menjauhi kerumunan demi mencegah virus corona. Kalau mereka sampai terjangkit Covid-19 karena memenuhi undangan kita, itu berarti ….”
“Alasan! Kau cuma mencari pembenaran. Aslinya kau memang tidak ingin mengadakan tahlilan!” Srini seraya menatap Rania tajam.
Rania bersiap menjawab sewaktu Srini mengangkat tangan.
“Wis! Kalau kau tak mau masih ada kami, adik-adik bapakmu, yang sanggup melakoninya!”
Srini seraya membalikkan badan, meninggalkan rumah Rania diikuti Sahudi dan keluarga besar lainnya yang bersungut-sungut kesal.
Perempuan berpipi ranum itu menghela napas panjang. Sembari mengucap istighfar ia mengikuti mereka hingga menghilang dari pandangan.
Petang datang. Langit menggelap perlahan. Selepas salat maghrib Rania melaksanakan tahlilan. Cuma bertiga dengan Lik Siti dan Lik Darmo, suami istri yang bekerja pada keluarganya sejak belasan tahun silam. Sementara kedua kakaknya melakukan tahlilan di rumah masing-masing. Endy di Samarinda, sedangkan Awan di Makasar.
Berjarak satu kilo dari rumah mereka, Srini juga mengadakan tahlilan. Lima puluh orang hadir di sana. Duduk berimpitan di ruang tamu dan beranda rumahnya. Membaca tahlil untuk Sulkan, bapak Rania yang subuh tadi dipanggil oleh Empunya alam.
Upaya Srini selama tujuh hari banjir pujian. Kebanyakan orang menganggap ia pahlawan, karena mau bersusah payah mengadakan selamatan dan tahlil untuk kakaknya yang baru saja meninggal. Sebaliknya, tidak demikian bagi Rania. Pun kedua kakaknya. Merekalah orang-orang paling tercela. Lebih takut pada corona ketimbang melaksanakan apa yang lazim dilaksanakan di kampung mereka bila ada anggota keluarga yang berpulang pada-Nya : tahlilan!
Rania bukan tak mengetahui ucapan mereka. Namun, ia memilih untuk tidak menanggapinya. Ia berpikir sederhana, menjelaskan pada pembenci takkan membuahkan apa-apa. Benar pun tetap akan salah di mata mereka. Jadi untuk apa repot-repot klarifikasi segala?
Sepekan berlalu, gunjingan tentang Rania tak juga mereda. Namun, Rania tetap tenang dan sedatar biasa. Bahkan ketika masyarakat ikut-ikutan menganggapnya gila karena termakan omongan Srini, adik bapaknya yang nomor tiga.
Ia hanya menggelengkan kepala ketika Lik Siti dan Lik Darmo menyingsingkan lengan, siap menghadapi mereka yang sibuk membicarakan Rania di belakang.
“Tak perlu, Lik. Buang Waktu.”
“Tidak bisa begitu Rania, mereka sudah keterlaluan. Mereka harus tahu ….”
“Kalau kita berjuang di jalan yang benar dan mereka di jalur yang salah?”
Lik Siti dan Lik Darmo mengangguk bersamaan.
“Tak usah. Saat kebenaran tiba gunjingan itu mereka akan memahami arti perjuangan kecil kita,” sahutnya seraya menyunggingkan senyuman.
Suami istri itu saling pandang. Mereka tidak paham, mengapa Rania sesantai itu setelah tuduhan miring dilesakkan padanya begitu kejam.
10 Agustus 2020. Terang tanah masih menyentuh hidung sewaktu grup WhatsApp gempar. Seorang tetangga yang tak pernah absen mendatangi tahlilan di rumah Srini meninggal. Hanya selang dua hari setelah tiba di rumah sakit karena mengeluh lemas, batuk, dan sesak napas. Hasil swab test menyatakan ia positif terjangkit virus corona.
Kegemparan kian menguar waktu Sahudi masuk rumah sakit karena keluhan yang sama sore itu juga. Seperti halnya si tetangga, pria usia 60 tahun yang memiliki riwayat penyakit liver itu tak bertahan lama. Pada hari Kamis, 12 Agustus 2020, Sahudi berpulang dalam jangka waktu sejam setelah swab test-nya keluar dan menunjukkan ia tertular virus yang sama.
Tanggal 17 Agustus, warga kampung Srini mendapatkan hadiah istimewa. Hasil swab test yang dilakukan Dinas Kesehatan setempat usai Sahudi tiada berkata bahwa 20 orang yang menghadiri tahlilan Sulkan di rumah Srini positif terkena virus.
Srini terguguk seketika. Kini ia tahu dirinya yang gila, bukan Rania. Sebab karena kebodohannya ia telah menghilangkan dua nyawa dua manusia dan membahayakan keselamatan lainnya.
Di sudut gelap rumahnya Rani tercenung, tak sanggup bicara. Berita di grup WhatsApp keluarga itu menarik hujan turun dari langit-langit matanya. Entah kenapa ia tak gembira mengetahui orang-orang yang menyepelekannya bertumbangan di hari merdeka.
Sumber gambar: Luis Galvez dari Unsplash
- Kegilaan Rania - 20/08/2020
- 3 Cara Menjaga Persahabatan Hingga Tua - 25/07/2020
Cakep ceritanya, Mbak. Kenyataan yang ada di masyarakat.
Orang nyinyir lawannya hanya dengan diam dan pembuktian ya…
Bagus banget mba ????
Di masyarakat itu kebanyakan yang berbeda itu dianggap aneh.
Duuh Bulik Srini nggak percaya sama Rania sih. Sedih yaaa kalau ada yg abai terhadap protap kesehatan selama pandemi gini.