Peringatan Proklamasi: Di Rumah Saja

Era kenornamalan baru sudah digelar di seluruh wilayah Provinsi Bali sejak akhir Bulan Juni lalu menyusul merebaknya kasus penyakit corona yang disebabkan oleh virus Covid-19 di awal tahun 2020. Beberapa instansi milik pemerintah dan perkantoran swasta di kota Singaraja, masih menerapkan metode bekerja dari rumah bagi sebagian pegawainya. Kegiatan belajar mengajar secara tatap muka di sekolah tidak lagi adakan, melainkan dengan menggunakan fasilitas online. Jam buka tutup kegiatan jual beli di pasar pun sangat dibatasi dan diawasi ketat oleh satuan petugas Covid-19 untuk menjaga supaya protokol kesehatan dijalankan oleh masyarakat dengan sebaik-baiknya. Setiap pagi dan sore hari, mobil dinas kesehatan berkeliling wilayah kota menyemprotkan desinfektan di sekeling rumah penduduk dan jalan raya. Tempat cuci tangan pun disediakan di semua fasilitas umum untuk memberi kemudahan  warga mencuci tangan secara rutin.

Suasana kawasan wisata Pantai Penimbangan tempat aku bermukim sempat lengang beberapa bulan selama pandemi. Bahkan sampai sekarang pun, beberapa kedai kecil membuka usahanya paruh waktu saja. Bunda Momo, salah seorang pemilik kedai makanan dan minuman di pinggir pantai mengaku penghasilannya menurun drastis beberapa bulan terakhir ini. “Susah Bu Dewi sekarang, suami saya dirumahkan sejak bulan lalu, tidak ada pemasukan sama sekali. Jadi saya lah yang bekerja serabutan sambil berjualan makanan secara online. Itupun gak banyak yang laku karena langganan saya enggan membeli dagangan saya, katanya takut tertular virus mematikan tersebut.” Aku yang mendengarnya ikut terenyuh dan membesarkan hatinya “Sabar ya bu, yakinlah bahwa kita semua mampu melewati ujian ini.”

Lain Bunda Momo, lain pula dengan pak Made, seorang penjaja tuak manis atau yang dikenal dengan legen dalam Bahasa Jawa.  Pak Made yang menjajakan es tuak manis keliling dengan sepeda motor ini mengaku pendapatannya malah meningkat selama pandemi. “Astungkara bu, pendapatan saya meningkat, karena masyarakat mempercayai bahwa minuman tuak manis yang dicampur dengan jamu air belimbing berkhasiat untuk menambah stamina, saya sampai kewalahan menyediakan stoknya setiap hari.” Sambil berbinar, Pak Made menceritakan kenaikan penghasilannya selama pandemi. Pak Made memang sudah puluhan tahun menjadi pengepul dan pedagang tuak manis keliling di pinggir jalan utama kota Singaraja. “Nggih pak, sukses ya, tetap jaga kesehatan.” Akupun beranjak meninggalkan Pak Made setelah membayar segelas minuman manis itu seharga tiga ribu rupiah saja.

Akupun menuju Pasar Banyuasri yang terletak di pusat kota Singaraja. Ramai para pedagang buah musiman yang menggunakan mobil bak terbuka. Aku mendekati salah seorang pedagang buah semangka mini dan berniat membeli beberapa buah semangka. Aku sangat senang memakan buah semangka ditemani beberapa butir buah kurma, setelah mendengar kajian tentang jurus sehat ala Rasulullah SAW dari seorang ustadz yang juga seorang dokter kondang.  Sambil memilih buah semangka, aku iseng memancing pendapat Pak Wayan, si pedagang buah tentang pandemi corona atau kopit, istilah orang awam di kotaku untuk corona. “Saya sekalian beli empat ya pak, yang manis-manis ya, soalnya saya jarang pergi ke pasar pak, semenjak musim kopit, saya takut juga.” Aku memulai percakapan. Tak dinyana, Pak Wayan dengan lantangnya berkata “kopit itu hoax alias hanya isapan jempol belaka, saya tidak percaya.” “Kenapa pak?” Aku mengorek informasi. “Paman saya sudah sepuluh tahun menderita diabetes akut, kemudian meninggal, lalu dibilangnya dari pihak rumah sakit, paman saya itu positip kopit, kan gak benar itu bu. Yang benar, paman saya itu meninggal karena kencing manisnya itu, bukan  karena si kopit bu.” Mendengar perkataan itu, aku hanya bisa terbengong saja, tidak berani mengiyakan ataupula berani menampik. Bukan sekali ini saja aku mendengar dari sebagian masyarakat awam, tidak percaya alias “meboya”dalam Bahasa Balinya. Akupun tak mau berdebat, setelah membayar sejumlah uang lalu aku bergegas pulang ke rumah.

Menjelang Bulan Agustus, Nohan, ketua panitia penyelenggaraan pekan olahraga tahunan antar pegawai di lingkup kantorku mengalami dilema. “Bagaimana ya, sebagian pegawai mengusulkan agar tahun ini kegiatan lomba olahraga ditiadakan saja, namun sebagian lainnya tetap bersikukuh agar kejuaraan olahraga menyambut HUT kemerdekaan RI tetap kita adakan.” Begitu kira-kira curhatannya disuatu pagi di kantin kantor. Akhirnya, setelah panitia mengadakan polling terhadap seluruh pegawai kantor, maka keputusan pun diambil. Dari hasil survey tersebut, diputuskan bahwa kegiatan olahraga tetap digelar dengan tetap memperhatikan protokol kesehatan. Cabang demi cabang olahraga pun digelar, namun akhirnya semuanya harus dihentikan karena di minggu pertama bulan Agustus, Bapak Bupati Buleleng mengeluarkan himbauan untuk menghentikan segala kegiatan yang melibatkan kerumunan orang banyak, seiring meningkatknya laporan kasus positip Covid-19 klaster perkantoran.

Menyusul surat himbauan bupati kami tersebut, hiruk pikuk semarak perayaan menjelang peringatan puncak hari kemerdekaan RI ke-75 pun tidak terlihat seperti tahun-tahun sebelumnya. Menghadapi masa pandemi di tahun ini, peserta kegiatan upacara peringatan kemerdekaan sangat dibatasi jumlahnya. Itupun pelaksanaannya hanya terbatas di kantor gubernur, bupati dan kecamatan saja. Sedangkan untuk pegawai di instansi pemerintah maupun swasta tetap diwajibkan mengikuti upacara tersebut dari rumah secara online dan kegiatannya dilaporkan secara online dilengkapi bukti poto saat sedang mengikuti peringatan detik-detik proklamasi RI 17 Agustus 1945 secara online.

Tiba pagi hari H, pada jam yang sudah ditentukan, tepatnya pada tanggal 17 Agustus 2020, jam 10 pagi, akupun telah siap mengenakan seragam batik KORPRI dan kerudung putih. Tidak lupa aku memakai masker wajah berwarna merah darah sebagai tanda empati akan musibah wabah pandemi. Akupun begitu bersemangat dan diliputi rasa haru, menyelubungi relung kalbu, sebagai ungkapan terima kasihku atas rahmat Allah SWT dan jasa para pahlawan kemerdekaan, aku bisa hidup di alam kebebasan dari penjajahan. Tak sadar, aku berkata lirih “Wahai pahlawan bangsa, ikut sertaku dari rumah, menyaksikan upacara ini tiada pernah akan sebanding dengan pengorbanan  darah dan air matamu, semoga Allah SWT merahmatimu”.

 

Penimbangan, 17 Agustus 2020-Doktor Dewi

            “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pahlawannya”

(Quotes by Ir. Soekarno, Bapak Proklamator RI)

Dewi Syahidah
Latest posts by Dewi Syahidah (see all)
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *