Berjaya Karena Korona

Pandemi Covid-19 belum berakhir. Bukan hanya di Indonesia, tapi juga di seantero bumi.

Bahkan peringatan kemerdekaan Republik Indonesia ke-75 di Agustus ini juga dilaksanakan dengan tidak biasa. Ada protokol yang harus dijalankan, aturan yang belum pernah ada sebelumnya.

Pandemi ini adalah bencana. Betul. Tapi betulkah hanya kesengsaraan yang kita dapat?

Berkali-kali saya menemui fenomena keberuntungan dalam kesusahan. Blessings in disguise, kalau kata orang Inggris atau Amerika.

Di saat orang lain menderita, ada orang yang malah berbahagia. Bukan karena orang itu menari di atas penderitaan orang lain. Sama sekali bukan. Orang ini adalah bukti bahwa setiap hal senantiasa dipergulirkan oleh Tuhan. Setiap umat punya masa kejayaannya dan kejatuhannya. Dalam skala kecil, bisa dikatakan ‘orang’ alih-alih ‘umat’.

Pernah anak kedua saya berdiskusi dengan saya. Ia bilang, “Bu, bukankah energi itu tetap, tidak dapat dibuat atau dimusnahkan, hanya berubah bentuk saja?”

“Ya, betul.”

“Lalu, kalau suatu negara ekonominya resesi, seharusnya ada negara yang ekonominya surplus, dong,” katanya lagi.

Hmmm…ini pasti gara-gara anak klas 5 SD ini habis baca koran soal perekonomian dunia saat pandemi. Energi dikaitkannya dengan ekonomi. Bisa jadi betul, sih, sebab kita hidup di planet yang sama, pasti saling memengaruhi.

Saya tidak bisa menjawab pertanyaan anak saya itu. Mau mengiyakan, saya belum punya data. Mau menolak, saya juga belum tahu kenyataan sebenarnya.

Tapi dari diskusi itu saya menyadari kebenaran yang mungkin ada dalam pertanyaan anak saya. Jangan-jangan betul, ada yang turun, ada yang naik.

Tidak perlu jauh-jauh mencari, jawaban itu saya temui hampir setiap pagi: tetangga saya yang berjualan masakan siap saji.

Sebut saja namanya Mbak Denok. Beliau berjualan masakan siap santap sejak lama. Biasanya di pagi hari Mbak Denok berkeliling menjual dagangannya.

Yang dijualnya bermacam-macam. Ada sayur matang seperti rawon, pindang balado, soto dan aneka oseng-oseng. Ada juga camilan dan lauk seperti tahu isi, pentol, martabak, tempe goreng.

Di masa sebelum pandemi, Mbak Denok juga menitipkan sebagian dagangannya ke kantin depan sekolah.

Pikir saya saat sekolah diliburkan karena pandemi, rezeki Mbak Denok bakal seret karena sebagian konsumennya adalah ibu-ibu wali murid yang menjemput anak-anak sepulang sekolah.

Ternyata saya keliru. Justru bisnis Mbak Denok berkembang ketika pandemi terjadi. Ia mengubah strategi penjualannya lewat Whats App. Setiap malam usai salat Isya, ia mengunggah status Whats App dan mengirim pesan via jalur pribadi ke ibu-ibu perumahan, menawarkan menu esok hari.

Enam bulan sudah kegiatan Belajar Dari Rumah, enam bulan ini pula saya melihat perkembangan bisnis Mbak Denok. Ia berhasil membidik pasar baru dengan memanfaatkan situasi.

Di awal pandemi banyak orang takut berbelanja ke pasar. Di saat itulah Mbak Denok masuk menawarkan masakan siap sajinya dengan menu berbeda setiap hari.

Orang boleh saja menghemat pengeluaran dengan mengurangi membeli jajanan, tapi masakan rumahan? Siapa yang tidak butuh?

Dari sini saya bisa melihat, alangkah Mahaadilnya Tuhan. Di tengah kondisi serba tak menentu, Dia tetap menjaga keseimbangan. Ada yang turun, ada yang naik. Tak ada keraguan akan keadilan-Nya.

Jadi, apa pelajaran yang bisa diambil dari kasus Mbak Denok? Pertama, yakin bahwa Tuhan Maha Pemberi Rezeki. Rezeki tak akan tertukar selama kita berusaha meraihnya. Kedua, kemampuan melihat peluang dan menjalani kesempatan baru adalah sesuatu yang harus diasah.

Saya kira Mbak Denok adalah satu dari sekian orang yang beruntung di tengah pandemi. Bagaimana dengan kita yang kurang beruntung? Yakinlah bahwa rezeki kita sudah pasti terjamin. Yakinlah bahwa ada masanya nanti kita berjaya. Yakinlah dan berdoalah agar pandemi akan segera pergi dari muka bumi.

Diah Dwi Arti
Latest posts by Diah Dwi Arti (see all)
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *