Sebagai seorang perempuan aku bukanlah orang yang extrovert. Teman-teman dekat mungkin bisa dihitung dengan jari. Bahkan yang teman dekatpun tidak sepenuhnya dekat karena tidak semua cerita bisa dibagi dengan mudah ke mereka semua. Ada semacam spesialis ketika aku memilih untuk bercerita. Misalnya untuk bisnis ke si A sebagai pakarnya. Masalah hati aku lebih nyaman bercerita dengan si B atau C. Sedangkan masalah keluarga aku lebih nyaman bercerita dengan si D, dll. Tapi ada 1 yang bisa aku ceritakan semuanya tanpa sisa.
Susmi, awalnya agak aneh memang melafalkan namanya, tapi lama-lama terbiasa juga. Rasanya dialah orang yang paling tepat untuk aku sebut sahabat. Dengannya aku bisa mencurahkan isi hatiku untuk masalah apapun. Dengannya aku bisa tertawa tapi juga bisa menangis. Dia selalu ada, tidak hanya di saat aku senang tapi juga saat hidupku dalam kondisi yang tersulit. Pun sebaliknya, aku selalu berusaha ada ketika dia membutuhkan aku. Walaupun hanya sekadar mendengarkan atau ada untuk dia. Ibu 3 orang anak ini menjadi saksi untuk segala kisah yang pernah kualami dalam hidup. Terutama sebelum menikah dan ketika aku masih tinggal di Bandung.
Kami tertawa dan menangis berdua. Jutaan menit kami habiskan bersama. Orang tua kamipun sudah maklum ketika kami gantian menginap. Bersamanya cerita tidak pernah habis, selalu ada saja yang rasanya masih belum diceritakan. Jam 1 malam atau bahkan jam 2 pagi biasanya kami baru tertidur karena obrolan yang tak pernah habis. Dari obrolan biasa, serius, tertawa, sampai mencurahkan isi hati yang paling dalam.
Aku menikah , tak lama kemudian Susmi menyusul menikah membuat persahabata kami menjadi sedikit berbeda. Apalagi ketika aku sudah pindah ke Pekalongan, 3 tahun kemudian pindah lagi ke Salatiga. Bertemu menjadi hal yang sulit untuk kami. Jadi ketika rasa rindu mendera, kami hanya bisa menelepon atau video call. Lucu rasanya, sekaligus merasa persahabatan ini begitu istimewa. Kini bukan hanya aku dan Susmi yang bersahabat, tapi juga anak-anak kami. Ketika bertemu, kini jadi lebih meriah.
Kenal di awal kuliah semester 1, tahun 2000 sampai hari ini kami masih berteman. Dan kalau aku coba ingat-ingat lagi rasa-rasanya kami tidak pernah berselilis satu sama lain. Seperti ada sebuah peraturan tidak tertulis diantara kami kalau kami tidak boleh saling menyakiti satu sama lain. Disaat kami marah, justru bukan karena kami, tapi justru karena kami kesal pada orang yang sama.
Hari ini, sudah 20 tahun yang lalu persahabatan itu mulai terjalin sampai detik ini. Cumi, begitu aku memanggilnya. Ia masih menjadi sahabatku. Menjadi “orang lain” yang paling mengerti aku, yang paling memahami aku, dan yang paling aku percaya. Selamat hari persahabatan Cumiii. Sahabat sehidup sejiwaku. Semoga persahabatan ini kekal adanya hingga ke kehidupan berikutnya nanti. Terima kasih telah mengerti aku dan menerimaku dengan segala kelebihan dan kekuranganku. Miss you so much.***
- Sahabat Sehidup Sejiwa - 02/07/2020