Jika menjadi dewasa itu adalah tentang penerimaan-penerimaan baik terhadap kegagalan, rasa sakit, dan perjuangan menyambung hidup dari hari ke hari, maka tak berlebihan rasanya jika saya menempatkan proses pendewasaan tersebut, dimulai saat saya bertemu dengannya.
Hampir tak pernah terpikir sama sekali bahwa fase kuliah di kota orang, menjadi masa-masa paling sulit buat saya. Beberapa kali hampir mengisi form cuti akademik tiap menjelang registrasi ulang, jauh dari orangtua yang juga sedang kepayahan menghadapi masalahnya disana, masa-masa dimana saya mulai tak bisa menikmati proses pembelajaran, tahun yang paling ingin cepat-cepat saya akhiri. Namun di saat-saat sulit tersebut, uniknya dia selalu ada bersama saya. She’s the best in my world.
Perasaan kami tidak berlebihan. Kami pernah bertengkar hebat di tengah jalan, dilihat banyak orang, konyol, kekanak-kanakan, sungguh menyebalkan. Tapi kami juga sering menaruh harapan, saling mengandalkan, mengingatkan hal-hal kecil, atau menuntaskan perkara-perkara rumit bersama. Nanti, kalau sudah saling buntu, sama-sama tak bisa menghibur, kami akan melarikan diri ke tempat yang jauh dan tidak banyak orang disana. Memanjat pohon, berbagi earphone, atau sekedar saling terdiam – menikmati sisa hari yang sudah cukup memuakkan buat kami. Kalau dipikir-pikir, kami ini romantis ya.
Suatu hari, dia pernah bertanya “diantara kita, siapa ya — yang akan lebih dulu bahagia dengan jalannya?” lagi-lagi dia berlagak menyebalkan, pertanyaannya terlalu rumit buat saya. Tidak secuilpun terbersit di pikiran, bahwa sampai hari ini – Allah subhanahu wa ta’ala ternyata menakdirkan jalan cerita paling bahagia buat kami berdua. Masing-masing dari kami, Allah rezekikan kenikmatan dengan cara yang berbeda.
Saya mengira bahwa pertemanan kami ini biasa saja. Seringkali kami hanya berdua, tapi juga sering kami ini tak bersama. Dia dengan teman-temannya, dan saya dengan kumpulan lain tanpanya. Tapi entah kenapa, selalu saja – tiap kami tak menemukan bahagia, ujung-ujungnya kami selalu akan berjumpa. Seolah semesta berkata, bahwa kami ini saling mengisi tenaga. Padahal, kami selalu merasa bahwa perasaan ini secukupnya.
Sampai kemudian, saya mendapati salah satu hari paling sulit. Saya meninggalkannya sendiri di kota orang. Ya, saya lulus lebih awal darinya. Karena musibah yang pernah menimpanya, terpaksa ia harus menunda kelulusan kuliahnya. Momen itu, ingat sekali – di depan stasiun kereta antar kota, kami berdekapan sangat lama. Bingung mau bilang apa, yang ada kami cuma terdiam dan saling tertawa.
“Kabari kalau sudah sampai ya, Na.”
“Ya, Fa.”
Tak tahan, akhirnya air mata saya pecah juga. Menyebalkannya dia malah tertawa, meledek saya yang menangisi perpisahan kita. Saat saya sudah duduk manis di dalam kereta, handphone saya berbunyi – ternyata satu pesan masuk darinya.
“Na, Ulfa nangis.” Aggh, temanku ini.
***
Tulisan ini untuk sahabat terbaikku, Maria Ulfa.
“Terima kasih ya sudah mengajakku menuju cahaya, di hari-hariku yang paling gelap gulita.”
Dalam rangka lomba menulis IIDN bertema Hari Persahabatan,
Marina Fauzia.
- Perasaan kami, secukupnya. - 25/07/2020
Langsung tertarik dengan gaya prolog nya…mengingatkan novel yg dulu saya baca di perpusum…ternyata ceritanya begitu pendek, dan tiba-tiba ending. Oalah…
halo mba ika, bisa-bisanya aku baru liat komenmu mba, kaya cerita novel ya mba, tapi ini nyata mba, hihi. anw, thanks ya mba 🙂