Sudah lebih dari satu tahun ajaran metode pembelajaran jarak jauh diterapkan di semua jenjang pendidikan. Anak harus beradaptasi dengan pola belajar baru ini, begitu pula guru dan lembaga pendidikan yang terus berupaya menjaga kualitas belajar mengajar secara virtual. Tidak terkecuali orang tua sebagai pendamping yang ‘dipaksa’ menyesuaikan metode belajar anak secara daring. Pembelajaran jarak jauh (PJJ) memang tantangan bagi semua pihak. Orang tua, dalam hal ini terutama para ibu memegang posisi vital dalam keberhasilan pembelajaran jarak jauh. Bagaimana tidak, ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya. Peran apapun yang dijalani ibu, baik sebagai ibu penuh waktu (full time mom), ibu pekerja (working mom), atau ibu yang sedang menempuh pendidikan (student mom) semua memiliki porsi tantangannya masing-masing dan itu semua bukanlah sesuatu yang mudah dijalani.
Dimasa awal pandemi dengan perubahan pola belajar anak di rumah, para ibu cenderung masih melihat banyak sisi positif. Melalui pembelajaran jarak jauh (PJJ) ibu dapat memantau perkembangan akademik anak di sekolahnya. Dengan pendampingan ibu di rumah banyak anak justru dapat mengejar ketertinggalan akademik di sisa tahun ajaran pada pertengahan tahun 2020 lalu. Para ibu pekerja yang nyaris tidak memiliki waktu untuk benar-benar fokus mendampingi anak-anak mereka belajar atau sekedar mengerjakan pekerjaan rumah (PR) sekarang diberikan privilese melalui skema work from home (WFH) dan fleksibilitas waktu hadir di kantornya.
Banyak ibu yang kemudian memiliki kebiasaan baru untuk mengapresiasi hasil belajar, prestasi, dan pencapaian anak atau sekedar mengapresiasi diri ibu sendiri atas keberhasilannya mendampingi anak belajar dengan membagikan aktivitas PJJ sehari-hari di media sosial. Membagikan kegiatan atau pencapaian anak di media sosial tentu sah saja, apalagi dengan maksud untuk sekedar mengapresiasi atau berbagi pengalaman, tips dan trik bagi ibu lainnya. Tapi, semakin lama justru dampak kompetisi sesama ibu atau lebih dikenal sebagai fenomena mompetition terjadi. Para ibu mulai melihat, membandingkan, menjadikan tolak ukur pencapaian anak-anak lainnya terhadap putra-putri mereka sendiri. Efeknya mulai semakin terasa ketika memasuki masa kenaikan kelas dengan keputusan pemerintah untuk tetap membuat PJJ sebagai metode belajar masa pandemi. Para ibu mulai membuat target-target belajar bagi anak mereka didukung dengan acuan dari handbook atau panduan belajar/kurikulum dari sekolah selama PJJ. Kompetisi akademik antar ibu tidak terelakkan dan membuat tingkat stres bertambah. Mendampingi anak belajar tidak lagi menyenangkan tetapi dibawah tekanan. Korbannya adalah anak yang disuguhi suasana belajar yang semakin tidak nyaman.
Contoh nyata yang terjadi adalah dari lingkaran orang tua murid di sekolah. Dampak PJJ membuat orang tua murid menjadi lebih intens dalam berkomunikasi meskipun secara virtual melalui whatsapp group atau aplikasi zoom. Dalam komunikasi di jejaring virtual ini orang tua kerapkali berbagi kegiatan belajar anak. Sayangnya, inilah yang memicu persaingan antar orang tua, terutama para ibu. Alhasil, aktivitas PJJ kini menjadi ajang pamer. Ada anak yang sudah bisa mencapai capaian kognitif di tingkat tertentu, lalu ibu akan membandingkan dengan anaknya. Selanjutnya, ibu sebagai pendamping belajar akan menargetkan anak untuk bisa mencapai kemampuan kognitif setidaknya setara atau lebih tinggi dari teman-temannya.
Ibu yang semestinya mendampingi dengan sabar menjadi lebih emosional dan menekan anak untuk belajar. Padahal, disatu sisi anak pun sudah mengalami fase jenuh dengan PJJnya, fase kesulitan fokus dalam memahami materi sekolah, fase tergopoh-gopoh mengejar tugas sekolah yang diberikan para guru. Yuk, kita sadari kesehatan mental yang mulai menjadi isu dari aktivitas PJJ di masa pandemi ini.
Setiap ibu adalah istimewa. Istimewa pada medan juangnya masing-masing. Ibu pekerja harus pandai membagi waktu, konsentrasi, dan tingkat stres antara pekerjaan di kantor dan memantau pendidikan anak. Belum lagi jika anak masih berada pada rentang usia 5-10 tahun atau masa sekolah dasar. Umumnya, anak-anak ini masih sangat butuh pendampingan ketika PJJ berlangsung. Ibu pun memiliki tugas tambahan untuk turut menyimak materi pembelajaran karena harus mengajarkan kembali apa yang disampaikan saat PJJ dan membantu menyelesaikan tugas dari materi yang bersangkutan.
Tantangan lainnya adalah tidak semua anak sudah bisa mandiri belajar. Menjadi tekanan tersendiri bagi ibu pekerja ketika tempatnya bekerja mulai memberlakukan sistem WFH sebagai syarat administratif semata karena pada kenyataannya tugas luar kota, rapat, dan target kerja lainnya mengharuskan ibu tetap datang ke kantor setiap harinya. Melewatkan sesi PJJ satu hari saja, tentu cukup banyak materi dan tugas yang harus disusul oleh anak. Momen lainnya yang membuat ibu pekerja stres adalah ketika jadwal yang bersamaan antara rapat virtual kantor dengan jam PJJ anak. Mau tidak mau ibu memecah fokus di waktu yang bersamaan. Akhirnya, efektivitas di tempat kerja maupun pendampingan PJJ keduanya tidak maksimal.
Bagaimana dengan ibu penuh waktu? Tentu tidak ada kendala terkait waktu, kapanpun bisa mendampingi sesi PJJ anak. Sesi PJJ usai, ibu bisa langsung memberikan pendampingan tambahan untuk mengajarkan kembali materi yang tidak dipahami anak sekaligus mengerjakan tugas sekolahnya. Oh, tentu tidak sesederhana itu. Sebagian besar ibu penuh waktu dibebani dengan lebih banyak pekerjaan domestik. Waktu-waktu tertentu dimana anggota keluarga di luar rumah untuk anak bersekolah dan ayah bekerja biasanya dimanfaatkan ibu untuk menyelesaikan pekerjaan domestik. Jika ada sedikit waktu luang, ibu memanfaatkannya untuk me time. Sejak seluruh anggota keluarga lebih banyak berada di rumah otomatis pelayanan ibu pun non-stop.
Anak-anak yang sebelumnya belajar bersama guru disekolah pagi hingga siang sekarang menjadi tanggung jawab ibu sebagai pendamping PJJ dirumah tanpa kenal batasan waktu dan jadwal. Bukan hanya itu, keterpautan usia dan zaman antara ibu dan anak memunculkan potensi ketidakmampuan ibu mentransfer materi sekolah anak. Ibu sudah lupa materi pelajaran di masa sekolah, bahkan terkadang untuk materi yang cukup sederhana. Belum lagi perkembangan metode pendidikan memunculkan cara-cara baru yang diajarkan guru sekolah dalam menyelesaikan satu soal tugas atau pekerjaan rumah yang tidak pernah dipelajari ibu di masa sekolah dulu.
Ibu menjadi rentan. Rentan kesehatan mental. Ibu menjadi mudah marah, tersinggung, sedih, tertekan. Siapa yang selanjutnya terdampak? Tentu seluruh anggota keluarga dirumah. Suasana dirumah menjadi lebih sensitif. Ada pula beberapa anak yang mulai berkeluh kesah di media sosial membicarakan ketidaknyamanannya terhadap orang tua mereka.
Ibu, istirahatlah dari lingkungan yang menurut ibu meracuni hati dan pikiran ibu. Berhenti membandingkan anak dengan teman-temannya. Kembalilah tersadar bahwa setiap anak adalah istimewa dengan kapabilitas dan pencapaiannya. Ingatlah kodrat anak sesuai pada usianya. Ingatlah bahwa di masa pandemi ini pun anak sudah berjuang untuk beradaptasi dengan tekanan PJJ, kebosanan, dan kesulitan belajar tanpa interaksi tatap muka dengan guru. Sadarilah juga bahwa media sosial merupakan sajian yang tidak sepenuhnya realita, banyak bumbu didalamnya untuk membuat tampilan terlihat lebih menyenangkan. Luangkan waktu untuk mengisi kembali rohani dengan ibadah karena sekecil apapun tekanan dan beban yang ibu rasakan akan terasa lebih lapang ketika beribadah.
Mompetition adalah pelemah jiwa keibuan yang dimiliki para ibu. Seimbangkan dengan kelonggaran yang ibu berikan kepada anak. Jika anak terlalu jenuh, berhentilah sejenak. Ajaklah anak menonton bersama, bermain, berolahraga, memasak, atau hanya sekedar berdiam tanpa target belajar sekolah. Tak lupa, sesuaikan standar. Bukan karena melihat pencapaian anak dari teman sejawat lalu menekan anak untuk mencapai hal yang sama. Jika pencapaian tersebut positif jadikanlah motivasi bagi anak, buatlah kalimat-kalimat membangun untuk menyemangati anak. Hindari kalimat negatif kepada anak seperti “tuh lihat temanmu sudah bisa mengerjakan perkalian, kamu kok gak bisa..”, “harus bisa dong seperti temanmu..”, “kamu payah sih..”
Keep calm, bu. Kalahkan situasi pandemi ini dengan kebahagiaan. Tetap jaga kewarasan hati, sikap, dan pikiran karena jika ibu telah rusak mentalnya siapa lagi yang akan membangun anak-anak menjadi generasi yang kokoh dan positif. Al-Ummu madrasah Al-ula. Ibu adalah sekolah pertama bagi anak-anaknya.