“Coba lihat si Arni. Anaknya rajin dan tekun. Jangan-jangan dia yang harusnya rangking 1,” ucap ibuku berpuluh tahun lalu.
Saat itu aku masih SD. Ibuku adalah kepala sekolah ditempatku belajar. Ucapan beliau itu diucapkan setelah melihat hasil raport yang menyatakan bahwa aku mendapat juara 1, sementara Arni waktu itu seingatku mendapat juara 2.
Ibuku tampak meragukanku karena ibuku khawatir jangan-jangan guru dikelas memberikanku nilai tertinggi gara-gara aku adalah anak kepala sekolah. Entah kenapa ia tak percaya padaku. Mungkin karena selama ini ia melihatku lebih sering bermain-main saja di rumah. Yang jelas ibuku sering kali membandingkanku dengan kawan sekelasku si Arni itu.
Apakah saat itu aku kesal karena dibandingkan dengan Arni?
Herannya tidak. Meski aku sering dibanding-bandingkan dengan Arni, aku tidak pernah membencinya. Aku tidak pernah kesal padanya, karena pada dasarnya aku sendiri pun sebenarnya mengaguminya.
Arni adalah nama panggilannya. Nama lengkapnya Muharni, sahabat masa kecilku. Badannya mungil dan berambut pendek. Jalannya cepat dan gesit.
Rumahnya sederhana, bahkan sangat sederhana. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu sementara lantainya hanya berupa tanah, tidak ada semen apalagi keramik.
“Alas kakimu pakai saja, Wen,” demikian ucapannya setiap kali aku masuk ke rumahnya. Beberapa kali ke rumah Arni, aku jarang sekali bertemu orang tuanya. Itu karena orang tuanya selalu sibuk bekerja ke ladang, mengurus kebun. Hanya itulah mata pencaharian mereka.
Setiap kali ke rumahnya, biasanya Arni dengan tekun membereskan rumah, memasak, dan melakukan pekerjaan rumah tangga. Sesuatu yang aku sendiri tak pernah lakukan dirumah.
Jika anak-anak lain (termasuk aku) sepulang sekolah biasanya anak-langsung bermain, tidak demikian dengan Arni. Ia malah sibuk mengerjakan pekerjaan di rumah atau pergi menyusul orang tuanya bekerja di ladang. Meski sejak kecil Arni sudah bekerja keras, tapi aku tak pernah mendengar Arni mengeluh. Dia selalu ceria dan di sekolah bermain seperti biasa. Seperti tak ada beban saja dalam hidupnya. Atau bisa jadi memang dia tak pernah menganggap semua itu adalah beban. Entah juga.
Persahabatanku dengannya termasuk persahabatan yang mulus. Jika biasanya aku beberapa kali memiliki konflik dengan teman perempuan di kelasku (hingga kadang menjadi musuh), tapi tidak dengan Arni. Aku tak pernah memiliki masalah dengannya. Kami selalu akur. Bisa jadi karena sejak kecil Arni sudah jadi sosok yang dewasa, sehingga tampaknya dia juga tak punya waktu mengurusi hal-hal sepele yang biasanya jadi sumber pertengkaran anak-anak. Yang jelas, aku tak pernah ingat kalau kami pernah bermusuhan.
Aku dan Arni sering sekali pulang sekolah bersama. Tertawa dan saling bercerita hingga sampai pernah dikejar angsa.
Arni yang rok sekolahnya pendek karena dipakai hingga bertahun-tahun. Bukan karena dia suka memakai rok pendek, tapi itu karena ia terpaksa memakainya karena tak punya uang untuk membeli rok yang baru.
Hidup Arni memang tak mudah. Bahkan selepas SMP, ia memutuskan menjadi TKW di Malaysia dan tidak melanjutkan sekolah. Komunikasi kami pun terputus bertahun-tahun lamanya. Aku tak pernah tahu bagaimana kabarnya. Apakah ia baik-baik saja atau ia punya masalah? Aku terlalu sibuk dengan urusanku sendiri hingga aku lebih sering melupakan sosok Arni.
Sejak dulu hubungan persahabatanku dengan Arni agak berbeda dengan hubungan persahabatanku yang lain. Jika aku biasanya menghabiskan waktu bersenang-senang, tertawa dan bercanda bersama sahabatku yang lain. Aku justru tidak terlalu sering melakukan hal itu dengan Arni. Apalagi saat SMP. Aku dan Arni jarang sekali punya waktu bersama karena aku sudah memiliki sahabat yang berbeda.
Hal itu kadang membuatku merasa bersalah. Namun Arni tak pernah marah. Ia tetap menjadi sosok yang ramah. Bahkan saat ia sudah pergi menjadi TKW, aku tak pernah tahu tentang itu. Kami sudah jarang berbincang bersama sehingga aku tak pernah tahu kabar berita tentangnya.
Aku memang memiliki beberapa sahabat berbeda dalam setiap fase hidupku. Dari sejak SD hingga kuliah. Namun sosok Arni selalu menjadi sosok yang berkesan dalam hidupku. Sosok yang tekun, pekerja keras, baik hati, tulus dan tidak pernah mengeluh. Banyak sikap dirinya yang kukagumi.
Setelah aku menikah dan memiliki satu anak, aku sungguh gembira ketika ia tiba-tiba menghubungiku lewat Facebook. Sejak saat itulah aku masih menjalin komunikasinya hingga sekarang.
Kami memang sempat tak pernah berkomunikasi dalam waktu yang lama, namun sikapnya hingga sekarang tidak pernah berubah. Dia tetap Arni yang dulu dengan kondisi hidupnya yang sekarang lebih baik. Kerja kerasnya bertahun-tahun di negeri orang telah mampu mengangkat taraf hidup keluarganya. Rumahnya tak lagi beralas tanah. Adiknya pun bisa sekolah. Hingga tahun lalu ia telah menemukan lelaki pujaannya dan sekarang telah memiliki seorang anak perempuan yang ceria.
Secara pendidikan mungkin aku lebih tinggi darinya. Tapi dari sisi yang lain, mungkin ia jauh lebih tinggi dariku. Sejak dahulu hingga sekarang, Arni telah menjadi sosok “guru” tersendiri bagiku.
Arni tak hanya seorang sahabat, ia adalah seorang guru yang memberikan banyak pelajaran kehidupan kepadaku. Tentang arti kerja keras, ketekunan dan semangat pantang menyerah. Sebuah pelajaran yang tak selalu kau dapati dari setiap orang yang kau temui. Arni adalah sosok sahabat yang memberikan kesan tersendiri di hati. Demikian pula dengan persahabatan kami. Meski raga kami sudah lama tak bersua, tapi semoga doa-doa terus terkirim kepadanya..
Dari Arni aku belajar, bahwa persahabatan kadang tidak selalu dibangun dari rutinnya pertemuan. Persahabatan kadang tak selalu dibangun dari seberapa sering kita tertawa. Persahabatan justru kadang dibangun dari inspirasi kebaikan dan pelajaran hidup yang ia berikan ketika bersama.
Latest posts by Wenti Indrianitha (see all)
- 17 Agustus yang Berbeda, 17 Agustus di Rumah Saja - 17/08/2020
- Sahabat yang menjadi Guru - 25/07/2020