Nama panggilannya Dewi, dia memang Dewi Penolong bagi keluarga dan masyarakat khususnya masyarakat yang terdampak bencana. Aku mengenal Dewi sejak kuliah di kampus yang sama di Yogyakarta, namun sejak kami wisuda tidak pernah bertemu lagi. Dewi asyik dengan kegiatannya sendiri dan aku juga asyik dengan kegiatanku, namun siapa sangka bahwa aku dan Dewi bertemu kembali di daerah dalam situasi tanggap bencana. Kami sama-sama bekerja di organisasi non pemerintah yang dikenal dengan INGO (International Non Governmet Organization) atau masyarakat mengenalnya dengan nama LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat) Internasional. Selama ini komunikasi kami hanya melalui media sosial seperti Facebook dan WhatsApp, namun sejak terjadi bencana gempa bumi, tsunami dan likuifaksi di Sulawesi Tengah pada tanggal 28 September 2018, persahabatan kami jadi bersemi lebih indah.
Dulu setelah wisuda, aku menikah dan pindah ke Bogor mengikuti suami yang bekerja di Bogor dan akhirnya aku juga bekerja di kota yang sama. Ketika anak-anakku lahir, kesibukanku semakin heboh, sebagai ibu bekerja dengan dua orang anak balita, berkantor di Jakarta Pusat dengan rumah tetap di Bogor sehingga pagi-pagi sekali harus sudah berangkat dan malam hari baru sampai di rumah lagi. Sedangkan Dewi setelah lulus kuliah lagi dan mempunyai bisnis bekerjasama dengan teman kuliah yang juga temanku. Dewi bahkan sempat tinggal selama beberapa tahun di Santiago dan Chili bersama keluarga Pamannya yang bekerja sebagai Duta Besar di negara tersebut. Kesibukan kami masing-masing membuat kami lepas kontak dan bertemu kembali saat kami sama-sama melaksanakan kegiatan tanggap darurat di Kota Palu, Provinsi Sulawesi Tengah. Siang itu secara tidak sengaja kami bertemu di acara “inter agency meeting”, rapat koordinasi dengan organisasi-organisasi yang bekerja merespon bencana di Sulawesi Tengah. Sejak pertemuan itulah kami menjadi lebih intens bertemu, aku menjadi tahu kalau ternyata kami sama-sama bekerja di INGO yang mempunyai program tanggap darurat di Sulawesi Tengah. Kami sama-sama menjadi anggota tim tanggap darurat, perbedaannya pada bidang kerjanya, Dewi seorang Team Leader program DRR (Disaster Risk Reduction) atau Pengurangan Resiko Bencana sedangkan aku lebih khusus pada bidang perlindungan anak dalam situasi darurat.
Persahabatan kami menjadi lebih erat dan aku seperti menemukan keluargaku di Palu, apalagi setelah Dewi pindah di rumah kos yang sama denganku. Di rumah kos inilah ada rutinitas yang kami lakukan setiap pagi dan kadang-kadang malam sepulang kami bekerja, yaitu minum teh bersama, maklum kami sama-sama orang Jogja yang mempunyai kebiasaan minum teh di pagi dan sore hari seperti halnya masyarakat Jogja pada umumnya. Saat-saat minum teh bersama inilah kebahagiaan kami sangat nyata karena kami lakukan sambil saling bercerita berganti-ganti topik mulai dari masa kecil, masa remaja, setelah kuliah, sampai perkembangan program yang kami lakukan di daerah yang sama. Kami bisa tertawa ngakak bersama dan kadang terbawa emosi dari topik cerita yang kami bahas, pokoknya hepi banget dan kalau kebetulan kami sedang travel ke luar daerah beberapa hari, kami menjadi sangat rindu dengan kebiasaan minum teh bersama di pagi hari. Dan seperti ada yang hilang ketika pulang dari kantor sampai di rumah sepi dan kamar Dewi terlihat gelap.
Kota Palu sama dengan kota-kota lain yang menjadi Ibu Kota Provinsi, ketika masa tanggap darurat dianggap selesai dan suasana sudah mulai beranjak pulih, sisa-sisa kerusakan akibat bencana sudah mulai dibersihkan, toko-toko mulai buka diikuti cafe yang menjamur di banyak tempat. Malam hari setelah pulang dari kantor kadang kami pergi bersama minum kopi di cafe atau warkop sambil cuci mata menghilangkan penat dan gejala stress. Hari Satu atau Minggu jika tidak ada kegiatan program, sering kami manfaatkan untuk istirahat, santai dan bisa menjadi acara refreshing dengan belanja n masak bersama di kantornya. Setelah siap dinikmati, Dewi memanggil teman-temannya dari organisasi lain untuk makan bersama sambil diskusi tentang perkembangan program, jadilah peristiwa yang menyenangkan dan ada hasilnya. Ini riil, yang orang Jawa menyebutnya “tumbu oleh tutup” atau belanga yang mendapat tutup yang tepat atau pas.
Sebagai pekerja kemanusiaan dan anggota tim tanggap darurat sepertiku, sudah sering manjalani puasa Ramadhan di kota lain jauh dari keluarga sampai menjelang Hari Raya Idul Fitri, menjadi hal yang biasa. Namun tanggap darurat di Palu bersama Dewi serasa menjalani puasa Ramadhan bersama keluarga, kami makan sahur bersama, saling membangunkan dan berbagi makanan. Kalau buka puasa memang lebih sering sendiri-sendiri karena kesibukan pekerjaan di kantor kadang setelah buka puasa masih melanjutkan bekerja dan pulang sampai malam. Namun jika bisa pulang lebih awal, biasanya kami janjian untuk buka puasa bersama di tempat yang kami sepakati.
Bekerja dalam situasi darurat atau bencana itu sangat rawan juga terhadap kesehatan mental kami karena hampir setiap hari terjadi gempa susulan, ada saja kasus yang harus dibahas dan satu kasus membutuhkan pembahasan beberapa kali sampai diperoleh alternatif solusi yang paling memungkinkan untuk dilakukan. Sedangkan aku membahas kasus-kasus anak mulai dari anak yang terpisah dengan keluarganya, kekerasan pada anak mulai dari yang ringan dan dianggap biasa oleh orang dewasa, sampai pada kasus berat seperti pelecehan seksual bahkan perkosaan. Bayangkan, dalam situasi darurat seorang lelaki masih terpikir untuk memperkosa anak-anak, bahkan anak yang berada di sekitarnya, seperti anak tetangga yang sama-sama tinggal di lokasi tenda pengungsi, dan ada yang lebih ngeri lagi, memperkosa anak dari istrinya dengan suami yang terdahulu. Astaufirullah….. kalau kami tidak kuat mental sangat berbahaya, sehingga jika ada waktu luang dan bisa libur kami langsung pergi bersama untuk refreshing.
Begitulah cerita persahabatan sejiwa yang kami alami, yang tanpa rencana tiba-tiba bertemu, tanpa janjian mau bekerja dimana, ternyata bekerja pada organisasi sejenis, memiliki konsen, visi dan misi yang serupa, merasa kehilangan dan kesepian kalau lama tidak bertemu. Sampai sekarang persahabatan kami tetap terjalin indah meskipun aku sudah selesai bekerja di Palu dan pulang kembali ke Sidoarjo dan Dewi masih mondar mandir Jakarta – Palu.
Sidoarjo, 13 Juli 2020
- Sahabat Sejiwa - 13/07/2020