Doa Untuk Suami

DOA UNTUK SUAMI

 

Sudah seminggu ini yu Kasmi berbaring di rumah sakit karena penyakit yang menurut diagnose dokter ada ketidakberesan pada ginjalnya.  Usia Yu Kasmi belum begitu tua baru sekitar 58 tahun, sedang suaminya kang Karjo 2 tahun lebih tua darinya.  Kang Karjo hidup dengan mengandalkan ketrampilannya memperbaiki alat-alat listrik.  Sebenarnya sudah setahun lebih kang Karjo oleh anakmya yang sulung bekerja di Jakarta, akan dibuatkan kios service listrik yang berada dipinggir jalan, dekat pasar tidak jauh dari rumahnya, agar dirinya tidak lelah keliling satu rumah ke rumah  orang-orang yang membutuhkan jasanya dan mudah dicari karena letaknya cukup strategis.  Tetapi kang Karjo menolak dengan alasan masih kuat mendatangi pelanggan service panggilan, adapaun biaya membuat kios bisa digunakan untuk membiayai adik-adiknya yang masih sekolah.  Anak sulung kang Karjo bernama Parman bekerja di Jakarta sudah agak lama sebagai pengawas produksi pabrik sabun terkenal.  Dia mempunyai  lima orang adik, yaitu Siti yang juga kerja  bareng dengannya, kemudian Jono masih di bangku SMK, dua adik perempuan Nur masih SMP, Ning SD kelas 6 dan si bungsu laki-laki Joko kelas 4 SD.  Keluarga mereka hidup sederhana tetapi selalu mengutamakan kepentingan masa depan anak-anaknya.

Yu Kasmi dan kang Karjo berasal dari keluarga yang sama-sama sederhana.  Sebenarnya dulu hubungan keduanya tidak disetujui oleh orangtua yu Kasmi karena saat itu ada laki-laki lain yang sudah disiapkan oleh orangtuanya dan dianggap cocok untuk menjamin hidupnya.  Namun apa daya, ternyata yu Kasmi sudah terlanjur menambatkan hatinya dan berjanji untuk hidup bersama kang Karjo selamanya.  Saat itu sempat terjadi hubungan yang renggang antara dirinya dengan keluarga karena akhirnya mereka memaksakan diri untuk menikah meski tidak direstui kedua orangtua yu Kasmi.  Selang dua tahun lahirlah si sulung Parman dan mereka memilih hidup pisah rumah dari orangtua dengan alasan agar mandiri, dengan menempati rumah kayu kecil berukuran 9×6 m yang dibelikan oleh orangtua kang Karjo ditambah uang tabungannya selama ini bekerja sebagai service elektronik.  Karena profesinya inilah yang membuat dirinya terus berkeliling di beberapa desa langganannya serta mengantarkan dirinya bertemu dengan yu Kasmi cinta pertama dan terakhirnya.

“Kring…ring…riiing…,” demi mendengar suara HPnya berbunyi Siti cepat-cepat mengambilnya dari dalam tas.  Saat itu Siti di rumah sakit sedang menanyakan kondisi ibunya pada petugas piket karena memang selama pandemic covid 19 pasien di rumah sakit tidak diijinkan untuk ditunggui.

“Assalamualaikum…ada apa Jon?”tanya Siti.

“Mbak…gawat penyakit bapak kambuh, kayaknya tensi naik dada katanya sakit sudah dari siang, ini sedang menunggu mobil angkutan milik lik Giman untuk diantar ke rumah sakit.  Bapak juga terus-terusan memanggil nama ibu…”Jono nyerocos saja demi melihat kondisi bapaknya yang tidak kunjung membaik.

“Astaghfirulloh…kenapa baru sekarang telpon?”Siti bertanya sambil memegang dadanya yang juga sesak oleh perasaan yang membuncah mengetahui kondisi kedua orangtuanya.

Selama yu Kasmi di rumah sakit kang Karjo belum pernah melihat dan tidak tahu kondisinya seperti apa karena memang tidak diijinkan untuk dibezuk apalagi ditunggu.  Kondisi pasien diketahui hanya dari informasi perawat yang bertugas piket saat itu.  Kang karjo di rumah hanya dapat bersabar serta mendoakan kesembuhan istrinya bersama dengan ketiga anaknya yang masih sekolah.  Keadaan yang seperti inilah membuat kang Karjo sering nglangut, makan tidak teratur, tidurnya juga kurang akhirnya memicu penyakit yang dideritanya selama ini muncul keluhan.  Sudah hampir 4 tahun ia terkena darah tinggi dan gangguan pencernaan.

Persis menjelang malam ke delapan yu Kasmi di rumah sakit, ternyata kang Karjo juga menyusul ke rumah sakit yang sama tetapi tanpa keduanya saling tahu, hanya anak-anak mereka yang tahu dan sengaja merahasiakannya demi kesehatan masing-masing supaya tidak memburuk.

Mobil angkutan lik Giman sudah sampai di pelataran rumah sakit kemudian berhenti.  Parman, Jono dibantu lik Giman membopong kang Karjo dan dibaringkan di brankar dorong yang kemudian dibawa petugas menuju ruang IGD untuk mendapatkan penanganan lebih lanjut.

Sementara itu kondisi yu Kasmi sudah mulai membaik dan hari kedelapan sudah diperbolehkan untuk pulang tapi harus patuh dengan nasehat dokter, rajin minum obatnya dan tetap terapkan protokol kesehatan, demikian pesan perawat ketika mengetahui pasien diijinkan pulang oleh dokter.   Siti mengurus keperluan kepulangan ibunya dari rumah sakit, tetapi hatinya juga teriris jika ibunya tahu kalau bapaknya saat ini juga di rumah sakit IGD lagi.  Sementara Parman masih terus memantau kondisi bapaknya, sedangkan Jono sementara pulang ke rumah karena dia juga masih punya kewajiban sekolah meski daring dan mengurus keperluan adik-adiknya.

Hari itu Selasa yu Kasmi terlihat sangat gembira meski terlihat kuyu dan pucat.  Bagaimana tidak, sudah agak lama di rumah sakit, hari ini pulang ke rumah bisa bertemu dengan suami dan anak-anaknya.

“Bu itu mobil angkutan lik Giman sudah datang, yuk kita siap-siap,” ajak Siti pada ibunya yang kebetulan mengurus keperluan obatnya barusaja selesai.

“Lo yang jemput kok cuma lik Giman dan Jono, bapak mana,”tanya ibu.

“Di rumah nunggu bu…kalau ke sini semua nanti gimana yang nyiap-nyiapin di rumah siapa?,” jawab Jono dengan menunduk agar kekalutan hatinya tidak terlihat oleh ibu.

“Harusnya bapak ikut, kan selama aku di sini belum bertemu wong tidak boleh dijenguk,”suara ibu memelas.

Sesampai di rumah belum memasuki waktu Dhuhur yu Kasmi disambut anak-anaknya dan para tetangga rumah yang ikut berbahagia atas kesembuhannya.  Perasaan bahagia juga menyelimuti hatinya yang sudah kangen pada mereka beberapa saat tidak bertemu,  Sesekali tertawa kecil meski ditutup masker terdengar suaranya, semangat dan gembira.  Namun sepulang para tetangga menjenguk, diriya baru sadar ada seseorang yang belum terlihat dari tadi.  Demi mengetahui jika suaminya sekarang berada di rumah sakit tanpa ada yang memberikan kabar pada dirinya, yu Kasmi menangis dan memarahi anak-anaknya.  Dengan dipapah Jono dan Nur, yu Kasmi dibaringkan di tempat tidur dan mencoba menata perasaannya.  Ning dan Joko hanya menangis melihat ibunya sedangkan Siti dan bude Warsih mencoba membombong untuk memberikan semangat.  Bude Warsih adalah kakak perempuannya yu Kasmi yang memang diminta membantu dan menemani sementara adiknya di rumah sakit.  Rumahnya tidak jauh dari situ masih satu desa hanya beda RT, ketiga anaknya sudah berumah tangga.

Selepas adzan Ashar berkumandang Parman pulang dari rumah sakit memantau kondisi bapaknya.  Ia berniat mandi dan berganti pakaian di rumah setelahnya baru ke rumah sakit lagi.  Ada hal lain yang ingin dilakukannya di rumah, melihat kondisi ibunya setelah mengetahui bapak sedang dirawat serta bermusyawarah bersama keluarga khususnya keluarga bude Warsih, berhubungan dengan kondisi kesehatan bapaknya yang naik turun.  Sesampai di rumah Parman mendapati Ning di dapur memanaskan air untuk sekedar mengepel tubuh ibunya, Joko masih mengaji belum pulang dari mushola, sedangkan bude Warsih dan Siti masih membujuk ibunya untuk minum obat.

“Ayolah ibu…obatnya diminum barang sedikit, nanti sakit lagi.  Gimana ibu bisa merawat bapak kalau ibu sendiri belum sehat?”rayu Siti.

“Malas obaat… terus, bapakmu gimana…?”tanya yu Kasmi.

“Sedikit sedikit saja Kas nda papa ya agar cepet sembuh, kasihan anak-anak kan,”pinta bude Warsih sambil menyuapkan obat yang sudah digerus ke mulut ibu.

Akhirnya dengan terpaksa ibu minum obat juga, mungkin karena pahit mulutnya digerak-gerakan dan meminta minum putih.  Lega rasanya melihatnya mau minum obat meski sempat berdebat dan dirayu-rayu seperti anak kecil yang ketakutan dengan obat.  Sementara itu di rumah mas Muh pengasuh mengaji mushola Parman sedang minta padanya doa untuk bapaknya, agar segera bisa keluar dari masa kritis.

Menjelang Maghrib Parman menuju ke rumah sakit kembali dengan mengendarai motor butut milik bapaknya yang tiap hari mengantarkannya ke pengguna jasa.  Entah kenapa kali ini hatinya was was, padahal tadi sore sempat meminta doa kekuatan dan kesembuhan dari sesepuh mushola juga.  Ada rasa  tidak enak bercampur khawatir.

Sesampainya di rumah sakit Parman terus menemui petugas piket untuk melihat kondisi bapaknya.  Dari luar ruangan IGD ia sempat melihat bapaknya dari kejauhan sambil terus berdoa untuk kesembuhannya.  Karena perut keroncongan, kemudian ia menyempatkan diri membeli nasi bungkus di warteg depan rumah sakit yang pintunya tertutup terus karena memang belum diijinkan mengundang kerumunan orang, maklum masih PPKM.  Dengan lahap dia makan karena memang hampir sesiang ini dia tidak sempat makan nasi, hanya kudapan saja.  Ia sengaja makan di dalam warteg tidak di lingkungan rumah sakit karena bisa-bisa selera makannya berkurang oleh bau obat, padahal saat ini sedang butuh tenaga yang cukup, jangan sampai sakit.  Sebagai anak sulung dialah sekarang yang mengurus semua keperluan rumah tangga orangtuanya, selagi mereka masih sakit.

“Sehat….sehat….sehat…aku harus sehat untuk mengurus semua ini,”batinnya sambil menelan nasi yang bersayur oseng kacang panjang, kulit mlinjo dan lauk balado lele.

Tiba-tiba HP nya berdering nada panggilan dari petugas piket rumah sakit, yang menyampaikan kondisi bapaknya semakin memburuk.  Belum selesai Parman makan, buru-buru membayar dan bergegas ke rumah sakit kembali.  Sesampainya di IGD, dia melihat dari balik jendela sekujur badan bapaknya ditutup kain putih.

“Innalillahi wainnailaihi rojiun…bapak…bapaak….”  Parman terduduk di lantai sambil sesenggrukan tidak peduli dengan teguran petugas agar dia menepi ke dekat tembok karena lalu lalang petugas yang sedang mengurus jenazah bapaknya.  Ingin rasanya dia membuka kain itu dan membuangnya, kemudian membopong tubuh bapaknya sambil melantunkan sahadat.

“Astaghfirulloh… maafkan aku pak tidak bisa menuntun dan mengiringi kepulanganmu dengan kalimatNYA….”gumam Parman di sela tangisnya.  Hatinya sangat remuk karena di akhir hayat orang yang sudah membesarkan dirinya tetapi dia tidak bisa merawat.  Jangankan merawat untuk berdekatan dan menyentuhnya saja tidak bisa karena dikhawatirkan virus penyebab penyakitnya menulari siapa saja yang ada di dekatnya, dan hal ini menurut kesehatan sangat dilarang.  Menurut informasi perawat yang piket, bapaknya terkena komplikasi dan positif covid 19.

“Semoga diampuni semua dosa-dosamu pak dan surga tempatnya disana,…aamiin.”

Parman mencoba bangkit dari duduknya di lantai dan ke halaman rumah sakit untuk mencari tempat yang agak sepi kemudian mencoba memberikan kabar kepada yang di rumah yaitu bude Warsih dan adik-adiknya.

Di rumah demi mendengar berita kang Karjo meninggal, anak-anaknya bertangisan, kondisi ini jelas tidak bisa disembunyikan dari ibunya yang akhirnya menjerit dan pingsan.  Beberapa orang tetangga mencoba mengangkat dan membaringkannya di dipan yang ada di ruang tamu.  Setelah sadar sambil menangis yu Kasmi seolah-olah berbicara pada dirinya dan orang-orang yang ada di sekitarnya, mengapa dia tidak bisa menunggui kang Karjo.  Dari dirinya sendiri sakit kemudian masuk rumah sakit hingga hari ini kurang lebih sepuluh hari, belum pernah bertemu dengan suaminya.  Tetangga dan anak-anaknya menenangkannya, membombong hatinya dan mengajaknya untuk terus mengucapkan istighfar.

Hampir pukul 22.30 WIB mobil ambulance yang membawa jenazah kang Karjo akhirnya sampai juga di rumah dengan pengawalan protokol kesehatan yang ketat, sesuai aturan dari pemerintah.  Yu Kasmi menjerit dan berusaha untuk mendekat mobil untuk melihat kang Karjo terakhir kalinya, namun dicegah oleh petugas karena sudah ada di dalam peti dan sesuai protokol kesehatan memang tidak diijinkan kecuali petugas.  Yu Kasmi menangis meraung-raung kemudian suaranya melemah dan pingsan kembali.  Bude Warsih, Nur, Siti, Ning, Joko saling bertangisan melihat kondisi seperti ini.  Sementara itu Parman dan beberapa perangkat desa membantu petugas rumah sakit yang mengurus pemakaman jenazah sesegera mungkin mengingat sedang mewabah kasus covid 19.  Kurang lebih tengah malam jenazah kang Karjo dimakamkan di pemakaman umum desanya.

Pada saat yu Kasmi siuman dari pingsan dia bermaksud bangkit dari dipan dan mencari mobil ambulance yang tadi membawa jenazah suaminya, tapi tidak didapatinya.  Betapa luluh lantak hatinya setelah tahu, jenazah suaminya sudah tidak ada tanpa dia pernah melihatnya lagi.  Yu Kasmi pingsan entah untuk yang berapa kalinya, anak-anaknya dan para tetangga semalaman berjaga-jaga dan sangat prihatin dengan keadaan yu Kasmi yang sebentar-sebentar menangis dan pingsan.

Acara selamatan dengan membaca Surat Yasin hingga hari ketujuh di rumahnya dilakukan oleh keluarga dan didampingi mas Muh tanpa mengundang tetangga karena situasinya masih PPKM.  Pada hari keempat semenjak meninggalnya kang Karjo, saat pagi hari menjelang subuh yu Kasmi awalnya mempermasalahkan snack untuk selamatan hari berikutnya, tapi tiba-tiba pembicaraannya menjadi lain.

“Ya sudah sana kamu pergi bangsat…tidak usah ikut ngatur rumah tangga orang!” teriaknya tidak jelas ditujukan untuk siapa.

“Rumah sakit sudah gila semua, aku dilarang ketemu bapake…bangsat kan…minggat saja kamu….!” Yu Kasmi menceracau dengan kata-kata kasar.

Sepertinya yu Kasmi belum bisa menerima kepergian suaminya melalui cara yang demikian karena mewabahnya covid 19.  Sejak dirinya masuk rumah sakit, kemudian kembali ke rumah ternyata kang Karjo sudah opname juga dan berikutnya pulang ke rumah sudah dalam peti jenazah tanpa boleh melihatnya sedikit pun, hal ini sangatlah berat baginya.  Rasa cintanya kepada Kang Karjo sekarang masih sama seperti saat dia beranjak dewasa dan jatuh cinta padanya, bahkan dulu ia rela tidak diberikan “gawan” oleh oranguanya karena ngotot menikah dengan kang Karjo yang kurang disetujui oleh pihak keluarga.

Kalau sudah begini yu Kasmi menceracau dengan kata-kata kasar, Siti, Nur dan Ning hanya bisa menangis karena tidak tahu harus berbuat apa, membujuk ibunya hanya akan menambah dan memperpanjang ceracaunya saja.  Maka segera Parman dan Jono minta tolong mas Muh atau mbah kyai di desanya yang biasa orang-orang di kampung minta tolong untuk menenangkan, biasanya akan diberikan  semacam air putih yang sudah diberi doa-doa kemudian diminumkan dengan harapan yu Kasmi segera sadar.

Dua bulan sudah berlalu dari peristiwa meninggalnya kang Karjo, yu Kasmi kadang masih saja mencercau, tetapi kadang juga bisa berpikir dengan jernih.  Dia sangat marah pada siapa saja yang mengatakan kalau dirinya belum mengikhlaskan kepergian suaminya dan melampiaskan perasaannya dengan menceracau.   Kemudian akan menjelaskan dengan panjang lebar kalau dirinya sudah ikhlas bahkan selalu mengajak anak-anak untuk berdzikir mengirim doa bagi bapak mereka.

Suatu hari yu Kasmi pernah ditanya tetangga sebelah rumah yang menanyakan perihal marah-marahnya dia kemarin.

“Yu kemarin sore kok marah bawa-bawa nama anjing segala, ada apa sih siapa yang dimarahi?”

“Heh… kapan itu, ga ada yang marah?”jawabnya.

“Kemarin sore sekitaran jam 16.30 WIB, yu Kasmi jelas sekali sedang memarahi seseorang, siapa?’’tanya tetangganya.

“Hei…jangan mengada-ada kamu ya, ngga ada yang marah-marah kemarin aku bahkan mengajak dzikir doa untuk suamiku bareng anak-anak.  Hati-hati kalau ngomong, jangan memfitnah orang ya,” yu Kasmi nyerocos menjelaskan pada tetangganya itu.

Yu Kasmi merasakan ada yang aneh dengan para tetangganya, karena sering ada yang menyampaikan kalau dirinya menceracau seperti orang tidak waras.  Suatu saat dirinya sengaja bermain ke rumah tetangga lain yang terkenal jujur, ia hanya ingin menanyakan kebenaran tuduhan orang-orang pada dirinya yang sering menceracau melampiskan kesedihannya.

“Mas Slamet nyuwunsewu, apa mas Slamet pernah mendengar aku menceracau dengan kata-kata kasar kayak orang nda waras,  kok orang-orang bilang aku begitu ya?” tanyanya pada mas Slamet orang yang dikenal jujur itu di sekitar rumahnya itu.

“Apa iya, kok aku tidak tahu ya tidak dengar gitu…”jawab mas Slamet pura-pura tidak tahu.

“Keterlaluan kan tuduhan orang-orang, aku itu merasa yang paling tanggung jawab di keluarga sekarang sejak suami tidak ada, yang mengingatkan agar anak-anak sering kirim doa untuk bapaknya ya aku, siapa lagi kan,” jelas yu Kasmi.

“Sudah tidak usah dengarkan omongan orang lain yu, nda ada gunanya lebih baik sekarang saat sholat jangan lupa kirim doa untuk kang Karjo.” tandas mas Slamet dengan bijaksana untuk membombong hati yu Kasmi.

“Oh begitu ya, terima kasih ternyata orang-orang salah dengar dikiranya aku wis edan.” gumamnya.

Semenjak meninggalnya sang suami, yu Kasmi kalau diajak berbicara kadang ngelantur tidak nyambung, kadang tiba-tiba marah tidak tahu siapa yang dimarahi, jika sudah niat sekedar dolan ke tetangga atau nonggo lama sekali dan tidak pulang-pulang.  Tapi dia hebat, sholat jamaah di mushola sangat rajin, jika ada suara adzan mesti dirinya segera siap-siap bergegas dan jamaah di mushola.  Pandemi telah merenggut kang Karjo sang suami dan kepercayaan pada dirinya, sehingga kadang menceracau tidak jelas meluapkan himpitan yang ada di lubuk perasaan terdalam tanpa tahu kepada siapa menceritakannya dan entah sampai kapan.

 

Kebumen,  akhir November 2022

 

 

 

 

 

*Gawan = beberapa peralatan rumah tangga yang diberikan oleh orangtua kepada anak gadisnya yang sudah menikah dan bermaksud pisah rumah dari orangtuanya.

Munkhayati
Latest posts by Munkhayati (see all)
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *