Bone 582

 

“Orang samping, ada martabak…”
” Orang bawah, ada martabak…”
Dan dalam waktu kurang dari 15 menit, dua bungkus martabak manis di meja makan, buah tangan dari tamu salah satu penghuni rumah ini ludes tak bersisa. Begitulah salah satu keseruan kami. Hidup bersama di rumah indekos. Antre mandi di pagi hari karena semua buru-buru ngampus, antre menyetrika maupun antre kompor untuk membuat sarapan. Belum lagi antre menggunakan telepon untuk berburu diskon sambungan jarak jauh dan sederet keriuhan lainnya.

Di rumah ini, rumah dengan 10 kamar dan berpenghuni tetap 16 orang, di sebuah gang sempit, tempat berjuta cerita masa muda tercipta. Bone 582. Alamat rumah ini, berada di Jalan Juanda Gang Bojong Neros no 582 Bogor. FIS atau kepanjangan dari Fikrah Islam menjadi namanya.

FIS berbeda dengan tempat kos lain. Ibu kos kami tinggal jauh dari rumah. Jadi segala yang berkaitan dengan rumah kami kelola bersama dengan seluruh penghuni. Ibu kos hanya menentukan harga sewa satu rumah pertahun. Untuk harga sewa tiap kamar, kami hitung sendiri berdasarkan jumlah ubin karena luas kamar yang berbeda, sampai semua biaya rumah tangga kami diskusikan bersama.

Dalam pengelolaannya, tiap penghuni membayar lagi iuran bulanan. Iuran diperuntukkan untuk membayar tagihan air, listrik, telpon dan biaya asisten. Untuk urusan makan ada satu asisten khusus yang bertugas belanja dan memasak. Pembuatan menu pun digilir, sehingga semua penghuni merasakan mumetnya memadupadankan menu dengan bujet yang sudah ditentukan. Jadi bisa dibayangkan betapa setiap penghuni harus nrimo dan legowo saat mendapat menu yang kurang sesuai dengan seleranya.

Di rumah ini kami bebas bercerita, curhat dan berkeluh kesah untuk sekedar berbagi beban. Sebagai sesama perantau di sini kami merasakan bukan lagi sekedar berteman atau bersahabat dengan sesama penghuni, tapi levelnya seakan sudah naik menjadi saudara.

Tiap orang punya cerita dan kenangan yang membekas di sini. Saya sendiri melewati dua peristiwa berat di rumah ini. Dari peristiwa itu saya merasakan tulusnya persahabatan kami. Tidak hanya untuk tertawa bersama di saat suka, tapi juga saling menggenggam dan menguatkan di kala duka.

Waktu itu tahun 1999, krisis moneter masih melanda setelah kerusuhan ’98. Saat itu saya mahasiswa tingkat dua semester genap. Saya jatuh sakit. Lumayan parah. Demam tinggi tidak turun-turun lebih dari satu minggu sampai mengigau. Persendian sakit sampai kejang. Pusing, mual dan lemas semua dirasa.

Karena demam tidak mereda, akhirnya sahabat di rumah membawa saya ke klinik. Saya harus dipapah menaiki sekian puluh tangga menuju klinik terdekat, tempat praktik Dokter Mustofa. Salah satu dokter baik hati yang sering tidak mau menerima bayaran saat tahu yang sakit mahasiswa, apalagi anak kos. Setelah menjalani tes darah akhirnya ketahuan saya sakit tifus. Dengan berbagai pertimbangan, diputuskan untuk rawat jalan saja.

Karena jarang sekali sakit, saat sakit itu saya merasa sangat merepotkan. Lemas dan pusing sampai tidak bisa beranjak dari kasur, bahkan ke kamar mandi saja harus dipapah. Minum pil harus digerus karena tidak bisa menelan langsung dengan air maupun makanan. Susah makan, padahal sahabat saya sudah bergotong royong membuatkan bubur. Saat sudah bisa masuk makanan tidak berapa lama dimuntahkan lagi karena mual yang terasa luar biasa. Saya masih ingat sekali karena belum kuat ke kamar mandi, beberapa kali saya muntah di kamar, dan mereka juga yang membereskan. Sungguh air mata ini masih menetes saat mengingat perhatian dan kasih sayang tulus mereka.

Saat itu saya minta untuk merahasiakan masalah sakit saya pada orang tua di kampung. Saya hanya tidak ingin mereka khawatir, sedangkan kondisi ekonomi di kampung juga sedang susah. Tapi akhirnya mereka bisa tahu, dan dua hari kemudian bapak sampai di FIS bersama ibu dan adik saya. Kami berpelukan dengan berderai air mata. Ada sorot penuh kekhawatiran dan kesedihan di mata bapak dan ibu.  Saya mungkin salah. Tidak seharusnya merahasiakan sakit ke orang tua, apalagi cukup parah karena justru akan menambah kekhawatiran saja.

Bapak berharap saya bisa dibawa pulang kampung, tapi karena kondisi, saya tetap dirawat di FIS. Satu minggu didampingi orang tua, cukup signifikan meningkatkan kondisi kesehatan saya. Setelah 6 minggu dirawat dan kondisi sudah membaik, saya memaksa untuk kuliah dengan alasan sudah banyak ketinggalan kuliah sekaligus bosan. Tapi ternyata pulang kuliah, saya drop lagi, demam, pusing dan keringat dingin. Sampai akhirnya genap dua bulan saya tidak kuliah. Dan harus masuk karena tiba masa ujian. Saya harus berusaha keras mengejar ketinggalan. Alhamdulillah saya dikaruniai sahabat yang pintar mengajar, catatannya pun komplit dan tulisannya bagus. Berkat bantuannya, saya bisa lulus ujian tanpa cela. Terima kasih Anggi…

Satu episode lagi yang tak kalah seru di rumah itu adalah saat saya di tingkat akhir. Waktu itu akhir tahun 2000. Kuliah teori sudah selesai, tinggal menyusun laporan PKL setelah sebelumnya saya menyelesaikan 3 bulan PKL di Palembang. Saat itu kiriman uang dari orang tua di kampung sudah distop karena bapak gagal panen beberapa musim. Hama tikus dan wereng menjadi penyebabnya. Sementara saya masih butuh biaya untuk menyelesaikan laporan.

Saya bertahan hidup dengan memberi les privat matematika dan kimia ke beberapa anak SMA, mengirim tulisan ke beberapa majalah walaupun banyak ga dimuatnya. Membantu teman mengetikkan skripsi demi makan malam gratis. Dan yang paling membahagiakan, saya masih diperbolehkan tinggal di FIS. Dengan menumpang menjadi PGT (Penumpang Gelap Tetap), sebutan anak kos kala itu untuk kami yang masih tinggal di FIS tapi tidak bisa membayar sewa. Waktu itu saya menumpang di kamar sahabat saya Indri. Sementara uang yang diperolah saya gunakan untuk makan dan menyelesaikan laporan. Sampai akhirnya  saya bisa lulus di bulan Maret 2001 dan mendapat pekerjaan tetap sebulan setelahnya.

Setelah bekerja, saya memutuskan tetap tinggal di Bone 582 karena sudah nyaman dan cinta dengan rumah ini. Saking lamanya sampai jadi Mbak paling senior. Saya juga diberi amanah menjadi kepala rumah tangga. Lapor ke pak RT tiap ada penghuni baru, menguruskan KTP sementara, menghadiri undangan, mengurus beberapa keluhan tetangga seperti paralon yang patah di area jalanan umum maupun lainnya.

Sampai akhirnya April 2005 saya harus meninggalkan rumah itu karena menikah. Rumah yang penuh cerita dan kenangan selama 8 tahun di Bogor. Rumah yang akan tetap selalu dalam ingatan. Memori bersama para teman dan sahabat. Suka duka tangis bahagia yang akan selalu tersimpan di hati. Di sini saya belajar banyak tentang cara mengurus rumah tangga disaat belum berumah tangga. Termasuk menyelesaikan konflik-konflik kecil yang terjadi di rumah, membantu saat ada penghuni yang sakit, yang curhat dan lainnya. Ah, rasanya hanya dengan menulis ini saja perasaan saya membuncah bahagia mengingat semuanya.

  • Buat semua teman dan sahabat di Fis Bone 582, semoga kita dipertemukan lagi. Sekedar berceloteh mengenang cerita kita dulu. momen sedih maupun gembira yang kita kenang dengan senyuman. Satu tahapan kehidupan yang sedikit banyak membentuk diri kita yang sekarang. Sehat selalu sahabat, semoga persahabatan kita untuk selamanya.
Sri Widyaningsih
Latest posts by Sri Widyaningsih (see all)
Bagikan:

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *